Rabu, 24 September 2008

Rindu

Dia orang yang sederhana, dengan pemikiran-pemikiran yang sederhana pula. Bekerja hampir-hampir 24/7 biar keluarganya bisa makan dan anak-anaknya bisa sekolah yang bagus. Hampir ga pernah denger dia mengatakan lelah, cape, tidak mau. Hampir ga pernah juga melihat dia marah. Entah kenapa ambang kesabarannya seperti tidak berbatas.

Dia punya tato, gambar salib, yang dia bikin sendiri waktu masih kecil. Di tangannya. Kata orang-orang ke Mama cowok bertato suka mukul perempuan. Mama ga peduli.

Kulitnya gelap. Rambutnya berombak. Kata orang aku paling mirip sama dia. “Ini mah jiplakan banget!” kata mereka.

Sering banget dia ngumpet-ngumpet dari Mama, ngasih uang jajan ke kami. Ketika uang jajan jatah mingguan sudah habis di hari kedua. Mama pura-pura ngga tau.

Temannya tersebar di penjuru kota Jakarta. Mulai dari tukang rokok sampe direktur perusahaan terkemuka. Teman Taman Kanak-Kanak sampai teman kerja. Semuanya berkumpul pada hari dia dimakamkan. Rame. Semua sedih.

Seorang mantan kekasih pernah bercerita. Dia duduk menunggu di rumahku sampai tertidur. Aku lagi pergi waktu itu. Di rumah hanya ada dia. Ketika mantan kekasih terbangun, sudah ada segelas air dingin yang dihidangkan dia. Dengan diam, karena tidak mau mengganggu tidur.

Hari-hari terakhir sebelum dia pergi, aku jauh. Kampus sialan yang memaksa pulang hanya setiap akhir minggu. Akhir minggu dia pergi. Sendirian. Kasian. Sendirian.

Belakangan ini sering sekali rindu. Sudah lama tidak menjenguk. Bawa bunga melati kesukaan dia untuk ditaburkan. Sambil menangis mengadu kesulitan hidup. Sambil membayangkan betapa bangganya dia melihat aku sekarang.





Missed you dearly, darling Daddy.

0 komentar: