Selasa, 14 Oktober 2008

Twilight


“I decided as long as I was going to hell, I might as well do it thoroughly.”

Perempuan mana yang nggak lumer kalo ada cowok ganteng, perkasa, berkulit pualam dan bermata keemasan, bicara seperti ini kepadanya?

Tak terkecuali Bella Swan. Seorang siswi sekolah menengah yang berpenampilan biasa-biasa saja.

Sejak pertama kali Bella melihat Edward Cullen di kantin sekolahnya yang baru di kota Forks, ia sudah sangat tertarik padanya. Ada sesuatu pada sosok Edward yang membuat dia—dan keluarganya—terlihat lebih menonjol dibanding orang lain. Sayangnya, sikap Edward ke Bella pada awal perkenalan mereka sungguh tidak menyenangkan. Entah kenapa, Edward terlihat benci dan jijik sekali sama Bella.

Suatu ketika, Bella dan teman-temannya yang baru piknik ke pantai. Di sana ia ketemu Jacob, anak yang berasal dan bersekolah di pemukiman Indian. Jacob menceritakan bahwa Edward dan keluarganya tidak di terima di daerah pemukiman tersebut, merujuk pada suatu perjanjian yang dibuat oleh nenek moyangnya Jacob. Diceritakan juga dongeng setempat, bahwa keluarga Cullen dipercaya oleh bangsa Indian daerah situ sebagai keluarga vampir. Karena itulah ditetapkan batas-batas daerah.

Penasaran dengan sikap Edward yang jahat padanya, dan cerita yang baru didengarnya dari Jacob, Bella melakukan riset di internet mengenai vampir. Ada beberapa ciri yang menunjukkan bahwa Edward memang vampir, walaupun banyak juga yang tidak cocok.

Bella yang mudah sekali mengalami kecelakaan, beberapa kali diselamatkan Edward. Termasuk menjadikan dirinya sebagai tameng antara Bella dan mobil yang melaju kencang dan slip di jalanan bersalju. Aneka peristiwa heroik itu yang akhirnya membuat Edward dan Bella dekat. Pada suatu kesempatan, dengan takut-takut Bella mengkonfrontasi Edward kesimpulan dia mengenai siapa Edward sebenarnya. Terbukalah kenyataan bahwa Edward dan keluarganya memang keluarga vampir. Dengan tegas Edward mengatakan kepada Bella, bahwa sebaiknya mereka tidak terlalu dekat, karena bisa membahayakan nyawanya, walaupun Edward dan anggota keluarga Cullen lainnya sudah memilih gaya hidup “vegetarian” alias tidak menghisap darah manusia. Mereka mengenyangkan diri dengan menghisap darah binatang. Kesukaan Edward adalah darah singa gunung.

Tapi apa dikata, Bella sudah terlanjur mencintai Edward.

Ada tiga hal yang kuyakini kebenarannya. Pertama, Edward adalah vampir. Kedua, ada sebagian dirinya—dan aku tak tahu seberapa kuat bagian itu—yang haus akan darahku. Dan ketiga, aku jatuh cinta padanya, tanpa syarat, selamanya. (Bella; halaman 209)

Konflik yang disebabkan karena cinta Bella-Edward pun bermunculan. Termasuk bagaimana menjembatani segala kekurangan Bella yang manusia biasa dengan semua kelebihan Edward karena ia vampir. Namun hal tersebut sama sekali tidak mengurangi kadar cinta mereka. Cinta yang begitu kuat sehingga kita yang membaca pun ikut terobsesi.

Tidak diperhitungkan juga oleh mereka, konflik yang datang dari kawanan vampir lain. Tidak semua vampir sebaik keluarga Cullen. James dan Victoria, misalnya, yang secara kebetulan bertemu Bella ketika ia sedang bersama dengan keluarga Cullen. Insting pemburu James sangat kuat, sehingga ia mengacuhkan penjelasan Edward bahwa Bella tidak boleh dimangsa. Timbulah pertentangan antara kedua kawanan itu, disertai dengan kejar-kejaran dan usaha penyelamatan Bella.

Apakah Edward berhasil menyelamatkan Bella? Apakah cinta mereka cukup kuat menghadapi perbedaan besar mereka?

Twilight

Stephenie Meyer

Gramedia Pustaka Utama

Maret 2008

Kamis, 25 September 2008

Kereta Odong-Odong

Pengguna kereta yang setia pasti tahu kereta odong-odong. Bagi yang ga tahu, kereta odong-odong itu sebutan gue dan teman-teman kantor bagi kereta dalam kota yang biasanya warnanya merah-biru/kuning-biru, harga tiketnya murah, tidak menggunakan listrik sebagai tenaga untuk berjalan, bau, banyak orang jualan, sesak, dan khas dengan penumpang-penumpang yang duduk di atap kereta.

Dulu sewaktu jalur kereta Tanah Abang – Serpong belum ada KRL AC, pilihan gue untuk ke kantor hanya KRL ekonomi non AC dan kereta odong-odong. Keduanya penuh. Keduanya harus menggunakan kekerasan untuk bisa masuk ke dalam gerbong.

Sekarang ini, Tuhan dan bapak-bapak dari perusahaan Kereta Api, menganugerahkan yang namanya KRL Express AC. Terus, ada lagi kereta KRL AC baru tapi non ekspres, namanya Ciujung. Kereta ini berhenti di setiap stasiun, harganya lebih murah dibanding express, dan berAC. Tentunya gue jadi langganan setia kereta api ini setiap kali pulang kantor.

Sayangnya kemaren malam, pulang lembur, gue terpaksa naik odong-odong. Berdua dengan kawan gue Mas Iwan, kami berjuang untuk masuk gerbong, karena ternyata dari Tanah Abang saja sudah penuh keretanya. Perjalanan Palmerah – Kebayoran Lama kami tempuh dengan posisi berdiri yang sangat dekat dengan pintu sisi kami masuk gerbong. Begitu kereta sampai di Kebayoran, jeng jeeeeng! Banyak aja loh yang naik! Kami-kami yang di dalam gerbong otomatis kena dorong dari para penumpang yang baru aja naik. Jadilah gue dan Mas Iwan pindah ke dekat pintu masuk di sisi lain.

Setelah stasiun Kebayoran, sampailah gue di Pondok Ranji, stasiun tujuan gue. Karena banyak sekali orang yang menghalangi gue dan pintu keluar ---dan ternyata mereka tidak turun di Pondok Ranji--- gue hampir saja tidak bisa keluar dan terbawa ke stasiun Sudimara. Kesian deh…gue! Mana waktu gue turun, sudah banyak orang mengantri untuk naik kereta, dan karena gue orang satu-satunya yang turun dari gerbong itu, jadilah gue sasaran omelan mereka.

Rabu, 24 September 2008

Pengarang yang baik

Punya pekerjaan jadi sekretaris di perusahaan penerbitan membuat gue menemui manusia dalam berbagai edisi. Kebanyakan pengarang, yang mau menerbitkan karyanya di tempat gue bekerja.

Sejarah membuktikan bahwa pada saat mereka menyerahkan naskah, mereka datang dengan cukup sopan, baik, rendah hati. Ada yang optimis, ada yang pesimis. Tapi dengan berjalannya waktu dan lamanya naskahnya belum selesai dibaca editor, keluar deh sifat-sifat aslinya. Mulai jutek, ga sabaran. Bahkan ada yang pernah ngasih nasehat, "Mbak, coba deh tim editornya ditambah, biar kita-kita yang pengarang ini ga terlalu lama digantungin."

Tapi, ada beberapa juga makhluk langka yang dinamakan pengarang yang baik. Biasanya mereka mengerti kalo naskahnya musti ngantri dulu, jadi butuh waktu minimal 3 bulan buat dinilai. Mereka ngerti juga kalo sampai 6 bulan masih juga belum selesai dibaca editor, karena sesungguhnya kerjaan editor bukan cuma baca naskah masuk. Kalo nelpon gue untuk konfirmasi naskahnya, tidak pernah mereka bicara dengan nada yang tinggi, selalu sopan dan tahu aturan, seperti layaknya menelepon ke sebuah instansi --- yang tentu aja beda dengan nelpon ke rumah sendiri! Sayangnya di dalam rimba kepenulisan, mereka termasuk edisi langka. Kaum minoritas. Hampir punah. Jadi, kalo diantara 200 pengarang gue nemuin satu yang seperti itu, langsung pengen dikasih air keras, biar tetap awet.

Rindu

Dia orang yang sederhana, dengan pemikiran-pemikiran yang sederhana pula. Bekerja hampir-hampir 24/7 biar keluarganya bisa makan dan anak-anaknya bisa sekolah yang bagus. Hampir ga pernah denger dia mengatakan lelah, cape, tidak mau. Hampir ga pernah juga melihat dia marah. Entah kenapa ambang kesabarannya seperti tidak berbatas.

Dia punya tato, gambar salib, yang dia bikin sendiri waktu masih kecil. Di tangannya. Kata orang-orang ke Mama cowok bertato suka mukul perempuan. Mama ga peduli.

Kulitnya gelap. Rambutnya berombak. Kata orang aku paling mirip sama dia. “Ini mah jiplakan banget!” kata mereka.

Sering banget dia ngumpet-ngumpet dari Mama, ngasih uang jajan ke kami. Ketika uang jajan jatah mingguan sudah habis di hari kedua. Mama pura-pura ngga tau.

Temannya tersebar di penjuru kota Jakarta. Mulai dari tukang rokok sampe direktur perusahaan terkemuka. Teman Taman Kanak-Kanak sampai teman kerja. Semuanya berkumpul pada hari dia dimakamkan. Rame. Semua sedih.

Seorang mantan kekasih pernah bercerita. Dia duduk menunggu di rumahku sampai tertidur. Aku lagi pergi waktu itu. Di rumah hanya ada dia. Ketika mantan kekasih terbangun, sudah ada segelas air dingin yang dihidangkan dia. Dengan diam, karena tidak mau mengganggu tidur.

Hari-hari terakhir sebelum dia pergi, aku jauh. Kampus sialan yang memaksa pulang hanya setiap akhir minggu. Akhir minggu dia pergi. Sendirian. Kasian. Sendirian.

Belakangan ini sering sekali rindu. Sudah lama tidak menjenguk. Bawa bunga melati kesukaan dia untuk ditaburkan. Sambil menangis mengadu kesulitan hidup. Sambil membayangkan betapa bangganya dia melihat aku sekarang.





Missed you dearly, darling Daddy.

;;