Kamis, 25 September 2008

Kereta Odong-Odong

Pengguna kereta yang setia pasti tahu kereta odong-odong. Bagi yang ga tahu, kereta odong-odong itu sebutan gue dan teman-teman kantor bagi kereta dalam kota yang biasanya warnanya merah-biru/kuning-biru, harga tiketnya murah, tidak menggunakan listrik sebagai tenaga untuk berjalan, bau, banyak orang jualan, sesak, dan khas dengan penumpang-penumpang yang duduk di atap kereta.

Dulu sewaktu jalur kereta Tanah Abang – Serpong belum ada KRL AC, pilihan gue untuk ke kantor hanya KRL ekonomi non AC dan kereta odong-odong. Keduanya penuh. Keduanya harus menggunakan kekerasan untuk bisa masuk ke dalam gerbong.

Sekarang ini, Tuhan dan bapak-bapak dari perusahaan Kereta Api, menganugerahkan yang namanya KRL Express AC. Terus, ada lagi kereta KRL AC baru tapi non ekspres, namanya Ciujung. Kereta ini berhenti di setiap stasiun, harganya lebih murah dibanding express, dan berAC. Tentunya gue jadi langganan setia kereta api ini setiap kali pulang kantor.

Sayangnya kemaren malam, pulang lembur, gue terpaksa naik odong-odong. Berdua dengan kawan gue Mas Iwan, kami berjuang untuk masuk gerbong, karena ternyata dari Tanah Abang saja sudah penuh keretanya. Perjalanan Palmerah – Kebayoran Lama kami tempuh dengan posisi berdiri yang sangat dekat dengan pintu sisi kami masuk gerbong. Begitu kereta sampai di Kebayoran, jeng jeeeeng! Banyak aja loh yang naik! Kami-kami yang di dalam gerbong otomatis kena dorong dari para penumpang yang baru aja naik. Jadilah gue dan Mas Iwan pindah ke dekat pintu masuk di sisi lain.

Setelah stasiun Kebayoran, sampailah gue di Pondok Ranji, stasiun tujuan gue. Karena banyak sekali orang yang menghalangi gue dan pintu keluar ---dan ternyata mereka tidak turun di Pondok Ranji--- gue hampir saja tidak bisa keluar dan terbawa ke stasiun Sudimara. Kesian deh…gue! Mana waktu gue turun, sudah banyak orang mengantri untuk naik kereta, dan karena gue orang satu-satunya yang turun dari gerbong itu, jadilah gue sasaran omelan mereka.

Rabu, 24 September 2008

Pengarang yang baik

Punya pekerjaan jadi sekretaris di perusahaan penerbitan membuat gue menemui manusia dalam berbagai edisi. Kebanyakan pengarang, yang mau menerbitkan karyanya di tempat gue bekerja.

Sejarah membuktikan bahwa pada saat mereka menyerahkan naskah, mereka datang dengan cukup sopan, baik, rendah hati. Ada yang optimis, ada yang pesimis. Tapi dengan berjalannya waktu dan lamanya naskahnya belum selesai dibaca editor, keluar deh sifat-sifat aslinya. Mulai jutek, ga sabaran. Bahkan ada yang pernah ngasih nasehat, "Mbak, coba deh tim editornya ditambah, biar kita-kita yang pengarang ini ga terlalu lama digantungin."

Tapi, ada beberapa juga makhluk langka yang dinamakan pengarang yang baik. Biasanya mereka mengerti kalo naskahnya musti ngantri dulu, jadi butuh waktu minimal 3 bulan buat dinilai. Mereka ngerti juga kalo sampai 6 bulan masih juga belum selesai dibaca editor, karena sesungguhnya kerjaan editor bukan cuma baca naskah masuk. Kalo nelpon gue untuk konfirmasi naskahnya, tidak pernah mereka bicara dengan nada yang tinggi, selalu sopan dan tahu aturan, seperti layaknya menelepon ke sebuah instansi --- yang tentu aja beda dengan nelpon ke rumah sendiri! Sayangnya di dalam rimba kepenulisan, mereka termasuk edisi langka. Kaum minoritas. Hampir punah. Jadi, kalo diantara 200 pengarang gue nemuin satu yang seperti itu, langsung pengen dikasih air keras, biar tetap awet.

Rindu

Dia orang yang sederhana, dengan pemikiran-pemikiran yang sederhana pula. Bekerja hampir-hampir 24/7 biar keluarganya bisa makan dan anak-anaknya bisa sekolah yang bagus. Hampir ga pernah denger dia mengatakan lelah, cape, tidak mau. Hampir ga pernah juga melihat dia marah. Entah kenapa ambang kesabarannya seperti tidak berbatas.

Dia punya tato, gambar salib, yang dia bikin sendiri waktu masih kecil. Di tangannya. Kata orang-orang ke Mama cowok bertato suka mukul perempuan. Mama ga peduli.

Kulitnya gelap. Rambutnya berombak. Kata orang aku paling mirip sama dia. “Ini mah jiplakan banget!” kata mereka.

Sering banget dia ngumpet-ngumpet dari Mama, ngasih uang jajan ke kami. Ketika uang jajan jatah mingguan sudah habis di hari kedua. Mama pura-pura ngga tau.

Temannya tersebar di penjuru kota Jakarta. Mulai dari tukang rokok sampe direktur perusahaan terkemuka. Teman Taman Kanak-Kanak sampai teman kerja. Semuanya berkumpul pada hari dia dimakamkan. Rame. Semua sedih.

Seorang mantan kekasih pernah bercerita. Dia duduk menunggu di rumahku sampai tertidur. Aku lagi pergi waktu itu. Di rumah hanya ada dia. Ketika mantan kekasih terbangun, sudah ada segelas air dingin yang dihidangkan dia. Dengan diam, karena tidak mau mengganggu tidur.

Hari-hari terakhir sebelum dia pergi, aku jauh. Kampus sialan yang memaksa pulang hanya setiap akhir minggu. Akhir minggu dia pergi. Sendirian. Kasian. Sendirian.

Belakangan ini sering sekali rindu. Sudah lama tidak menjenguk. Bawa bunga melati kesukaan dia untuk ditaburkan. Sambil menangis mengadu kesulitan hidup. Sambil membayangkan betapa bangganya dia melihat aku sekarang.





Missed you dearly, darling Daddy.

;;